Kamis, 19 November 2009

SISTEM IMUN

A. Sel-Sel Sistem Imun Nonspesifik

Sel sistem imun non spesifik bereaksi tanpa memandang apakah agen pencetus pernah atau belum pernah dijumpai. Reaksinya pun tidak perlu diaktivasi terlebih dahulu seperti pada sistem imun spesifik. Lebih jauh lagi respon imun non spesifik merupakan lini pertama pertahanan terhadap berbagai faktor yang mengancam. Sel-sel yang berperan dalamnsistem imun nonspesifik adalah sel fagosit, sel nol, dan sel mediator.

1. Sel Fagosit

Sel fagosit terbagi dua jenis, yaitu fagosit mononuclear dan fagosit polimorfonuklear. Fagosit mononuclear terdiri dari sel monosit dan sel makrofag, sedangkan fagosit polimorfonuclear terdiri dari neutrofil dan eusinofil.

a. Sel Monosit dan Sel Makrofag

Persentase sel monosit dalam sel darah putih berkisar 5 %. Monosit bersirkulasi dalam darah hanya selama beberapa jam, kemudian bermigrasi ke dalam jaringan, dan berkembang menjadi makrofaga (macrophage) besar (pemangsa besar). Makrofaga jaringan, yang merupakan sel-sel fagositik terbesar, adalah fagosit yang sangat efektif dan berumur panjang. Sel-sel ini menjulurkan kaki semu (psedopodia) yang panjang yang dapat menempel ke polisakarida pada permukaan mikroba dan menelan mikroba itu, sebelum kemudian dirusak oleh enzim-enzim di dalam lisosom makrofaga itu.

Beberapa makrofaga bermigrasi ke seluruh tubuh, sementara yang lain tetap tinggal secara permanen dalam jaringan tertentu: dalam paru-paru (makrofaga alveoli), hati (sel-sel Kupffer), ginjal (sel-sel mesangial), otak (sel-sel mikroglia), jaringan ikat (histiosit), dan pada limpa, nodus limfa, serta jaringan limfatik. Mikroorganisme, fragmen mikroba, dan molekul asing yang memasuki darah menghadapi makrofaga ketika mereka terjerat dalam bangun limpa yang mirip dengan jarring, sementara yang berada dalam cairan jaringan mengalir ke dalam limfa dan disaring melalui nodus limfa.

Namun, beberapa mikroba telah mengevolusikan mekanisme untuk menghindari perusakan oleh sel fagositik. Beberapa bakteri mempunyai kapsul bagian luar yang tidak dapat ditempeli makrofaga. Contoh bakteri tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis, yang bersifat resisten terhadap perusakan oleh lisosom dan bahkan dapat bereproduksi di dalam makrofaga.

b. Sel Neutrofil

Neutrofil merupakan sel fagosit yang berasal dari sel bakal myeloid dalam sumsum tulang. Jumlahnya sekitar 60-70% dari semua sel darah putih (leukosit). Neutrofil adalah fagosit pertama yang tiba, diikuti oleh monosit darah, yang berkembang menjadi makrofaga besar dan aktif. Sel-sel yang dirusak oleh mikroba yang menyerang membebaskan sinyal kimiawi yang menarik neutrofil dari darah untuk datang. Neutrofil itu akan memasuki jaringan yang terinfeksi, lalu menelan dan merusak mikroba yang ada disana. (Migrasi menuju sumber zat kimia yang mengundang ini disebut kemotaksis). Di dalam neutrofil terdapat enzim lisozim dan laktoferin untuk menghancurkan bakteri atau benda asing lainnya yang telah difagositosis. Setelah memfagositosis 5-20 bakteri, neutrofil mati dengan melepaskan zat-zat limfokin yang mengaktifasi makrofag. Biasanya, neutrofil hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam karena neutrofil cenderung merusak diri sendiri ketika mereka merusak penyerang asing.

c. Sel Eusinofil

Sama seperti sel fagosit lainnya, sel eosinofil berasal dari sel bakal myeloid. Ukuran sel ini sedikit lebih besar daripada neutrofil dan berfungsi juga sebagai fagosit. Eosinofil berjumlah 2-5% dari sel darah putih. Peningkatan eosinofil di sirkulasi darah dikaitkan dengan keadaan-keadaan alergi dan infeksi parasit internal (contoh, cacing darah atau Schistosoma mansoni). Walaupun kebanyakan parasit terlalu besar untuk dapat difagositosis oleh eosinofil atau oleh sel fagositik lain, namun eosinofil dapat melekatkan diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus, dan melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh banyak parasit. Selain itu, eosinofil juga memiliki kecenderungan khusus untuk berkumpul dalam jaringan yang memiliki reaksi alergi. Kecendrungan ini disebabkan oleh faktor kemotaktik yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil yang menyebabkan eosinofil bermigrasi kearah jaringan yang meradang.

Sel fagosit terutama makrofag dan neutrofil; memiliki peran besar dalam proses peradangan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik lainnya.

Peradangan adalah respon nonspesifik terhadap invasi benda asing atau kerusakan jaringan. Tujuan akhir dari peradangan adalah untuk menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang cedera atau terinvasi agar keduanya dapat:

1. Mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan antigen yang masuk.

2. Membersihkan debris.

3. Mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan dan perbaikan.

Proses peradangan mencakup hal-hal berikut ini:

1. Kerusakan jaringan oleh suatu cedera atau perlakuan fisik (seperti terpotong) atau oleh masuknya mikroorganisme.

2. Beberapa senyawa kimia seperti histamin dihasilkan oleh sel darah putih yang beredar yang disebut basofil dan oleh sel mast yang ditemukan dalam jaringan ikat, memicu pembesaran dan peningkatan permeabilitas kapiler didekatnya.

3. Vasodilatasi lokal, peristiwa ini bertanggung jawab atas pembengkakan dan warna merah yang khas pada peradangan. Peningkatan aliran darah ke tempat luka dan permeabilitas pembuluh akan membantu pengiriman unsur penggumpalan darah yang akan membantu memperbaiki dan menghambat penyebaran mikroba ke bagian tubuh yang lain.

4. Kapiler yang penuh darah membocorkan cairan ke dalam jaringan sekitarnya dan menyebabkan edema (pembengkakan).

5. Perbaikan jaringan, di sebagian jaringan seperti pada kulit, tulang, dan hati. Sel-sel spesifik organ yang masih sehat di sekitar tempat cedera mengalami pembelahan sel untuk mengganti sel-sel yang hilang. Namun, di jaringan yang bersifat non degenerative, misalnya saraf dan otot, sel-sel yang hilang diganti oleh jaringan parut.

6. Respon spesifik lainnya terhadap infeksi adalah demam. Toksin yang dihasilkan oleh patogen dapat memicu demam, dan leukosit tertentu juga membebaskan molekul yang disebut pirogen,yang dapat mempertinggi suhu tubuh. Demam ini dapat membantu pertahanan tubuh dengan cara menghambat pertumbuhan beberapa mikroorganisme.

2. Sel Nol

a. Sekilas tentang Sel Natural Killer

Sel Natural Killer (Sel NK) merupakan golongan limfosit tapi tidak mengandung petanda seperti pada permukaan sel B dan sel T. Oleh karena itu disebut sel nol. Sel ini beredar dalam pembuluh darah sebagai limfosit besar yang khusus, memiliki granular spesifik yang memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperi sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler. Sel jenis khusus mirip limfosit yang diproduksi di dalam sumsum tulang ini juga tersedia di limpa, nodus limfa, dan timus dan merupakan 10 % – 20 % bagian dari limfosit perifer. Bentuknya lebih besar dari limfosit B dan limfosit T.

Sel dikenal karena memiliki petanda permukaan CD56 dan CD16 tapi tidak CD3. Cara kerja sel ini dan sasaran utamanya serupa dengan sel T sitotoksik, tapi sel sitotoksik hanya dapat mematikan sel-sel terinfeksi virus atau sel kanker jenis tertentu yang pernah dijumpai, sedangkan sel NK membentuk pertahanan yang bersifat segera dan non spesifik terhadap sel yang terinfeksi virus dan sel kanker sebelum sel T sitotoksik yang lebih banyak berfungsi. Sel NK diaktifkan oleh interferon yang biasanya diproduksi dan dilepaskan oleh sel yang terinfeksi virus itu sendiri. Interferon juga menyebabkan peningkatan daya tahan terhadap virus pada sel-sel yang tidak terinfeksi.

b. Sejarah Penemuan Sel Natural Killer (Sel NK)

Penemuan sel NK terjadi pada awal 1970an ketika sedang diadakan penelitian tentang kemampuan limfosit T untuk melisiskan serangan sel tumor dimana sebelumnya mereka telah dikebalkan. Selama eksperimen tersebut, ada sesutu yang peneliti terus amati yaitu ketika ada suatu masa dimana suatu sekelompok sel terlihat dapat melisiskan sel tumor tanpa disensitisasi sebelumnya. Namun penemuan tersebut belum dapat didukung dengan teori yang tepat sehingga belum dapat dibuktikan kebenarannya.

Pada tahun 1973, aktivitas ”pembunuh alamiah” ditemukan pada bermacam-macam spesies dan eksistensinya akhirnya diakui. Melalui pemanfaatan antibodi monoklonal, kemampuan “pembunuh alamiah” tersebut diketahui merupakan bagian dari suatu granular limfosit yang kita kenal saat ini sebagai sel natural killer (sel NK). Disebut “sel pembunuh alami” karena sel-sel ini tidak membutuhkan stimulasi tambahan untuk mengenali antigen tertentu yang akan diserang atau dibunuh.

c. Mekanisme kerja sel NK

Supaya sel NK dapat menentukan tubuh terinfeksi virus atau patogen lainnya, maka sel NK memerlukan mekanisme yang dapat menentukan apakah sel tersebut terinfeksi atau tidak. Seperti yang telah diketahui bahwa sel NK bersifat sitotoksik. Granul-granul kecil dalam sitoplasmanya mengandung protein seperti perforin dan protease yang dikenal sebagai granzim. Ketika telah mendekati sel target, perforin membentuk saluran transmembran pada sasaran yang menyebabkan sasaran terlisis kemudian granzim dan molekul-molekul yang berperan lainnya dapat masuk dan terjadi apoptosis.

http://pkukmweb.ukm.my/~danial/NK%20cell%20ADCC%20(I).jpg

Mekanisme dari awal terinfeksi virus dapat dijelaskan sebagai berikut: Apabila virus menginfeksi sel, antigen-antigen virus yang baru dipamerkan pada permukaan sel. Antigen-antigen ini akan mempengaruh penghasilan antibodi spesifik yang kemudian akan bergabung dengan antigen tersebut. Sel NK, yang mempunyai reseptor spesifik akan bergabung dengan antibodi tersebut.

http://pkukmweb.ukm.my/~danial/NK%20cell%20ADCC%20(II).jpg

Setelah sel NK bergabung dengan sel sasaran terinfeksi virus melalui perantaraan antibodi, bahan larut termasuk perforin dan granzim akan dibebaskan dan membentuk polimer (dalam kehadiran Ca++) pada permukaan sel sasaran. Pempolimeran perforin akan membentuk saluran pada sel sasaran dan ini akan melisiskan sel sasaran.

Sel NK aktif ketika mendapat respon dari interferon atau makrofag – dari sitokin. Mereka membantu untuk mengetahui adanya infeksi dari virus dimana respon imun adaptif menghasilkan antigen – sel T sitotoksik yang spesifik yang dapat menghilangkan infeksi. Pasien yang kekurangan sel NK terbukti mudah terkena infeksi tahap awal dari virus.

Untuk mengontrol aktivitas sitoksiknya, sel NK memiliki dua tipe reseptor permukaan yaitu reseptor yang berfungsi mengaktifkan dan reseptor yang berfungsi menekan sifat sitoksiknya tersebut. Sebagian besar dari reseptor tersebut tidak terlalu khusus dan dapat pula berfungsi dalam sel T.

Reseptor yang berfungsi menekan fungsi sitotoksik dari sel NK mengenal MHC kelas I, dari sinilah dapat dijelaskan mengapa sel NK membunuh sel memiliki molekul MHC kelas I lebih sedikit pada permukaan mereka daripada keadaan normal. Penekanan ini memainkan peranan yang penting dari sel NK. MHC kelas I terdiri dari mekanisme utama dimana sel akan menunjukkan antigen virus atau tumor ke sel T sitotoksik.

3. Sel Mediator

Sel yang termasuk sel mediator adalah sel basofil, sel mast, dan trombosit. Sel tersebut disebut sebagai mediator dikarenakan melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam sistem imun.

a. Sel basofil dan sel mast

Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya dan diduga juga dapat berfungsi sebagai fagosit. Sel basofil secara struktural dan fungsional mirip dengan sel mast, yang tidak pernah beredar dalam darah tapi tersebar di jaringan ikat di seluruh tubuh. Awalnya sel basofil dianggap berubah menjadi sel mast dengan bermigrasi dari sistem sirkulasi, tapi para peneliti membuktikan bahwa basofil berasal dari sumsum tulang sedangkan sel mast berasal dari sel prekursor yang terletak di jaringan ikat. Ada dua macam sel mast yaitu terbanyak sel mast jaringan dan sel mast mukosa. Yang pertama ditemukan di sekitar pembuluh darah dan mengandung sejumlah heparin dan histamine. Sel mast yang kedua ditemukan di slauran cerna dan napas. Proliferasinya dipacu IL-3 dan IL-4 dan ditingkatkan pada infeksi parasit. Baik sel basofil maupun sel mast memiliki reseptor untuk IgE dan karenanya dapat diaktifkan oleh alergen spesifik yang berkaitan dengan antibodi IgE. Kemudian bila terdapat alergen spesifik berikutnya yang bereaksi dengan antibodi, maka perlekatan keduanya menyebabkan sel mast atau basofil rupture dan melepaskan banyak sekali histamin, bradikinin, serotonin, heparin, substansi anafilaksis yang bereaksi lambat, dan sejumlah enzim lisosomal. Bahan-bahan inilah yang menyebabkan manifestasi alergi. Selain itu keduanya pun dapat membentuk dan menyimpan heparin dan histamin.

b. Trombosit

Trombosit adalah fragmen sel yang berasal dari megakariosit besar di sumsum tulang belakang. Trombosit berperan dalam pembatasan daerah yang meradang, dimana apabila terpajan ke tromboplastin jaringan di jaringan yang cedera maka fibrinogen, yang telah diaktifkan melalui proses berjenjang yang melibatkan pengaktifan suksesif faktor-faktor pembekuan, diubah menjadi fibrin. Fibrin inilah yang membentuk bekuan cairan interstitiumdi ruang-ruang di sekitar bakteri dan sel yang rusak.

B. Sel-sel Sistem Imun Spesifik

1. Sel T

a. Karakteristik Sel T

1. Sel T tidak mengeluarkan antibodi. Sel –sel ini harus berkontak langsung dengan sasaran suatu proses yang dikenal sebagai immunitas yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity, imunitas seluler).

2. Bersifat klonal dan sangat spesifik antigen. Di membran plasmanya, setiap Sel T memiliki protein-protein reseptor unik.

3. Sel T diaktifkan oleh antigen asing apabila antigen tersebut disajikan di permukaan suatu sel yang juga membawa penanda identitas individu yang bersangkutan, yaitu, baik antigen asing maupun antigen diri harus terdapat di permukaan sel sebelum sel T dapat mengikuti keduanya.

4. Tidak semua turunan sel T yang teraktivasi menjadi sel T efektor. Sebagian kecil tetap dorman, berfungsi sebagai cadangan sel T pengingat yang siap merespon secara lebih cepat dan kuat apabila antigen asing tersebut muncul kembali di sel tubuh.

5. Selama pematangan di timus, sel T mengenal antigen asing dalam kombinasi dengan antigen jaringan individu itu sendiri, suatu pelajaran yang diwariskan ke semua turunan sel T berikutnya

6. Diperlukan waktu beberapa hari setelah pajanan antigen tertentu sebelum sel T teraktivasi besiap untuk melancarkan serangan imun seluler.

Karakteristik

Limfosit T

Asal

Sumsum tulang

Tempat proses pematangan

Timus

Reseptor untuk antigen

Ada reseptor permukaan, tetapi berbeda dengan antibodi; sangat spesifik

Berkaitan dengan

Antigen asing yang berkaitan dengan antigen diri, misalnya sel-sel yang terinfeksi virus

Antigen harus diproses dan disajikan oleh makrofag

Ya

Jenis sel aktif

sel T sitotoksik, sel T penolong, sel T penekan

Pembentukan sel pengingat

Ya

Jenis imunitas

Imunitas diperantarai sel

Produk sekretorik

Limfokin

Fungsi

Melisiskan sel yang terinfeksi virus dan sel kanker, membentuk imunitas terhadap sebagian besar virus dan jamur, beberapa bakteri; membentuk sel B membentuk antibodi

Lama hidup

Lama

b. Subpopulasi sel T

Ketika sel T terpajan ke kombinasi antigen spesifik, sel-sel dari sel klon sel T komplementer berproliferisai dan berdiferensiasi selama beberapa hari, menghasilkan sejumlah besar sel T teraktivasi yang melaksanakan berbagai respons imunitas seluler. Terdapat tiga subpopulasi sel T, tergantung pada peran mereka setelah diaktifkan oleh antigen.

1. Sel T sitotoksik

Sel T yang menghancurkan sel penjamu yang memiliki antigen asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel cangkokan.

2. Sel T penolong

Sel T yang meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan (supresor) yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag.

3. Sel T penekan

Sel T yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas sel T sitotoksik dan penolong.

Sebagian besar dati milyaran Sel T diperkirakan tergolong dalam subpopulasi penolong dan penekan, yang tidak secara langsung ikut serta dalam destruksi patogen secara imunologik. Kedua subpopulasi tersebut disebut sel T regulatorik, karena mereka memodulasi aktivitas sel B dan Sel T sitotoksik serta aktivitas mereka sendiri dan aktivitas makrofag.

Pajanan terhadap antigen sering mengaktifkan baik sel B maupun sel T secara stimulan. Seperti sel T regulatorik yang dapat mempermudah atau menekan sekresi antibodi sel B, antibodi juga dapat meningkatkan atau menghambat kemampuan sel-sel T sitotoksik menghancurkan sel korban, bergantung pada keadaan. Sebagain besar efek yang ditimbulkan limfosit pada sel-sel imun lain ( limfosit lain dan makrofag) diperantarai melalui sekresi zat-zat perantara kimiawi. Semua zat kimiawi selain antibodi yang disekresikan secara kolektif oleh limfosit disebut limfokin, yang sebagian besar diproduksi oleh limfosit T. limfokin tidak berinteraksi secara langsung dengan antigen yang menyebabkan prduksi limfokin tesebut.

Sel T Sitotoksik

Sasaran sel T sitotoksik yang paling sering adalah sel yang sudah terinfeksi virus. Sel T sitotoksik dari klon yang spesifik untuk virus tersebut mengenali dan berikatan dengan antigen virus dan antigen diri di permukaan sel yang terinfeksi. Setelah diaktivasi oleh antigen virus, sel T sitotoksik menghancurkan sel korban dengan mengeluarkan zat-zat kimiawi yang melisiskan sel sebelum replikasi virus dapat dimulai.

Salah satu cara yang digunakan sel T sitotoksik dan sel natural killer untuk menghancurkan sel sasaran adalah dengan mengeluarkan moleku-molekul perofin, yang menembus membran permukaan sel sasaran dan menyatu untuk membentuk saluran seperti pori-pori. Teknik mematikan sel dengan membuat lubang di membran ini serupa dengan metode yang diterapkan oleh membrane attack complex pada jenjang komplemen. Virus yang keluar setelah sel dirusak kemudian secara langsung dihancurkan di cairan ekstrasel oleh sel-sel fagositik, antibodi netralisasi, dan sistem komplemen. Sementara itu Sel T sitotoksik, yang tidak mengalami cidera selama proses ini, dapat menyerang sel lain yang terinfeksi. Sel-sel sehat disekitarnya menggantikan sel yang hilang melalui proses pembelahan sel.

Biasanya untuk menghentikan infeksi virus tidak banyak sel yang harus dihancurkan. Namun, apabila virus memiliki kesempatan untuk memperbanyak diri, dengan virus-virus turunan itu meninggalkan sel dan semua menyebar ke sel-sel lain, banyak sel yang harus dikorbankan oleh mekanisme pertahanan sel T sitotoksik, sehingga dapat terjadi malfungsi serius.

Sel T Penolong

Sel T penolong meningkatkan banyak aspek respons imun, terutama melalui sekresi limfokin. Berikut ini adalah sebagian dari zat-zat perantara kimiawi yang paling dikenal yang dihasilkan oleh Sel T ini:

1. Sel T penolong menghasilkan faktor pertumbuhan sel B yang meningkatkan kemampuan klon sel B aktif menghasilkan antibodi. Sekresi antibodi sangat menurun jika tidak terdapat sel T penolong, walaupun sel T itu sendiri tidak menghasilkan antibodi.

2. Sel T penolong juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T, yang juga dikenal sebagai interleukin 2 (IL-2) untuk meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik, sel T penekan, dan bahkan sel T penolong lain yang responsif terhadap antigen yang masuk.

3. Sebagian zat kimia yang dihasilkan oleh sel T berfungsi sebagai kemotaksin untuk menarik lebih banyak neutrofil dan calon makrofag ke tempat invasi.

4. Setelah makrofag ditarik ke daerah invasi, sel T penolong mengeluarkan macrophage-migration inhibition factor, suatu limfokin penting lain, yang menahan sel-sel fagositik besar ini tetap di lokasi invasi. Akibatnya terjadi penumpukan makrofag dalam jumlah besar di daerah yang terinfeksi. Faktor ini juga meningkatkan daya fagositik makrofag-makrofag tersebut. Apa yang disebut angry macrophage ini memiliki daya destruktif yang lebih besar.

Sel T penolong adalah jenis sel T yang paling banyak, menyusun sekitar 60-80% dari sel T yang beredar dalam darah. Karena peran penting sel ini dalam “menyalakan” semua kekuatan llimfosi dan makrofag, sel T penolong dapat dianggap sebagai “tombol utama” sistem imun.

Sel T Penekan

Pengetahuan mengenai sel T penekan jauh lebih sedikit dibandingkan subpopulasi lainnya. Sel-sel ini tampaknya berfungsi membatasi reaksi imun melalui mekanisme “ check and balance” dengan limfosit yang lain. Sementara sel B, sel Sitotoksik, dan sel T penolong meningkatkan aktivitas imun satu sama lain, sel T penekan membatasi respons semua sel imun lain. Melalui metode umpan balik negatif, sel T penolong mendorong sel T penekan beraksi. Sel T penekan pada gilirannya, menghambat sel T penolong dan sel-sel lain yang untuk bertugas dipengaruhi oleh sel T penolong.

Efek inhibisi oleh sel T penekan membantu mencegah reaksi imun berlebihan yang dapat membahayakan tubuh. Peningkatan jumlah sel T penekan sebagai respons terhadap infeksi virus biasanya berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan proliferasi sel T sitotoksik dan sel T penolong, sehingga sel T penekan membantu menghentikan respons imun setelah respons tersebut melaksanakan fungsinya.

c. Toleransi Kekebalan Terhadap Antigen-diri

Sel T penekan mungkin juga berperan penting dalam mencegah sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri, suatu fenomena yang dikenal sebagai toleransi. Mungkin selama “proses pemotongan, pengacakan, dan penempelan” genetik, yang berlangsung selama perkembangan limfosit, secara tidak sengaja terbentuk sebagian sel B dan T yang dapat bereaksi dengan antigen jaringan tubuh sendiri. Apabila klon-klon limfosit ini dibiarkan berfungsi, mereka akan menghancurkan tubuh individu itu sendiri. Untungnya sistem imun dalam keadaan normal tidak menghasilkan antibodi atau sel T aktif terhadap antigen tubuh sendiri, tetapi mengarahkan serangan destruktifnya hanya kepada antigen asing.

Kadang-kadang sistem imun gagal membedakan antara antigen diri dan antigen asing, dan melancarkan pukulan mematikan terhadap satu atau lebih jaringan tubuh sendiri. Keadaan pada saat sistem imun tidak dapat mengenal dan mentoleransikan antigen diri yang berkaitan dengan jaringan tertentu disebut sebagai penyakit otoimun.

d. Penyajian Antigen oleh MHC

MHC, Major Histocompatibility Complex atau disebut kompleks histokompatibilitas mayor, merupakan kumpulan glikoprotein permukaan sel (protein yang berikatan dengan rantai gula) yang dikode oleh sebuah keluarga gen. pada manusia, glikoprotein MHC juga dikenal sebagai HLA (Human Leukocyte Antigen).

Dua kelas utama molekul MHC menandai sel tubuh sebagai “diri sendiri”. Molekul MHC kelas I ditemukan pada semua sel bernukleus yaitu, pada hampir setiap sel tubuh. Molekul MHC kelas II terbatas hanya pada beberapa sel khusus, yang meliputi makrofaga, sel B, sel T yang telah diaktifkan, dan sel-sel yang menyusun bagian interior timus.

MHC merupkan suatu sidik jari biokimiawi yang dapat dikatakan unik bagi setiap individu. Tugas suatu molekul MHC adalah penyajian antigen masing-masing molekul MHC menggendong fragmen antigen protein dalam lekukan berbentuk ayunan dan “menyajikannya” ke sel T.

Ada dua jenis utama sel T, dan masing-masing membuat kontak spesifik dengan molekul MHC pada permukaan tubuh. Sel Tsitotoksik (TC) mempunyai reseptor antigen yang terikat dengn fragmen antigen yang diperlihatkan oleh molekul MHC kelas I tubuh, yaitu molekul-molekul yang muncul pada sel-sel bernukleus. Sel T helper (TH) mempunyai reseptor yang terikat dengan fragmen antigen yang diperlihatkan molekul MHC kelas II tubuh.

e. Pengenalan MHC

Sel T yang sedang berkembang berinteraksi dengan sel-sel timus, yang mengandung kadar molekul MHC kelas I (karena sel itu bernukleus) dan molekul MHC kelas II yang tinggi. Hanya sel T yang mengandung reseptor dengan afinitas untuk MHC-self yang mencapai pematangan. Sel-sel T yang sedang berkembang dan mempunyai reseptor dengan afinitas terhadap MHC kelas I akan mejadi sel T sitotoksik. Sel-sel T yang mempunyai reseptor dengan afinitas sedang untuk MHC kelas II akan menjadi sel T helper.

f. Respon Kekebalan

Interaksi Molekul MHC kelas I

Pada sel yang telah terinfeksi virus, molekul MHC kelas I yang baru disintesis oleh sel tersebut bergerak menuju permukaan sel. Molekul itu menangkap fragmen kecil dari salah satu protein lain yang disintesis oleh sel tersebut. Jika sel tersebut mengandung virus yang bereplikasi, fragmen peptida protein virus itu ditangkap dan diangkut ke permukaan sel. Dengan cara ini, molekul MHC kelas I memaparkan protein asing, yang disintesis dalam sel terinfeksi atau sel abnormal, ke sel T sitotoksik. Interaksi antara sel penyaji antigen dan sel T sitotoksik sangat ditingkatkan oleh kehadiran protein permukaan sel T yang disebut CD8. CD8 terdapat di sebagian besar sel T sitotoksik, dan mempunyai afinitas tehadap sebagian molekul MHC kelas I. Interaksi molekul MHC kelas I dan CD8 membantu mempertahankan aktivasi antigen yang bersifat spesifik sedang berlangsung.

Sebuah sel T sitotoksik, yang diaktifkan oleh kontak spesifik dengan kompleks MHC kelas I dan antigen pada sel yang terinfeksi atau sel tumor, dan dirangsang lebih lanjut oleh IL-2 dari sel T helper, berdiferensiasi menjadi sel pembunuh yang aktif. Sel ini membunuh apa yang disebut sel target terutama dengan cara pembebasan perofin, yaitu protein yang membentuk pori atau lubang pada membran sel target. Karena ion dan air mengalir dalam sel target, maka sel itu membengkak dan akhirnya lisis. Kematian sel-sel yang terinfeksi itu bukan saja menghilangkan tempat bagi patogen untuk berproduksi, tetapi juga memaparkannya ke antibodi yang sedang beredar, sehingga menandainya untuk dibuang dan dihancurkan. Setelah merusak sel yang terinfeksi, sel TC terus bergerak membunuh sel-sel lain yang terinfeksi dengan patogen yang sama.

Interaksi Molekul MHC kelas II

Sebuah makrofaga yang telah menelan dan merusak bakteri mengandung fragmen kecil protein bakteri (peptida), sementara permukaan makrofaga, molekul itu menangkap salah satu di antara peptida bakteri itu dalam lekukan pengikat antigenya dan membawanya ke permukaan, sehingga memperlihatkan peptida asing itu ke sel T helper. Interaksi antara sel penyaji antigen dengan sel T helper semakin meningkat dengan kehadiran protein permukaan sel T yang disebut CD4. Terdapat pada sebagian besar sel T helper, CD4 mempunyai afinitas terhadap sebagian protein MHC kelas II. Interaksi antara molekul CD4 dan molekul MHC kelas II membantu mempertahankan sel T helper dan sel penyaji antigen (APC) tetap menyatu sementara aktivasi antigen yang bersifat spesifik sedang berlangsung.

Ketika sel T helper diseleksi melalui kontak spesifik dengan kompleks MHC kelas II dan antigen pada sebuah APC, sel TH akan memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi klon sel T helper yang diaktifkan dan sel T helper memori. sel T helper yang diaktifkan mensekresikan beberapa sitokin yang berbeda, yang merupakan protein atau peptida yang berfungsi untuk merangsang limfosit lain. Sebagai contoh sitokin interleukin-2 (IL-2) membantu sel B yang telah mengadakan kontak dengan antigen untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi. IL-2 juga membantu sel T sitotoksik untuk menjadi pembunuh yang aktif

Sel T helper itu sendiri patuh pada pengaturan sitokin. Sementara makrofag memfagositosis dan menyajikan antigen, makrofag itu dirangsang untuk mensekresi suatu sitokin yang disebut interleukin-1 (IL-1). IL-1, dalam kombinasi dengan antigen yang disajikan, mengaktifkan sel T helper untuk menghasilkan IL-2 dan sitokin lain. Merupakan satu contoh umpan balik posiftif adalah peristiwa saat IL-2 yang disekresi oleh sel T helper juga kan merangsang sel tersebut untuk memperbanyak diri lebih cepat lagi dan untuk menjadi penghasil sitokin yang lebih aktif lagi. Dengan cara ini, sel T helper memodulasi respons kekebalan humoral (sel B) maupun respons kekebalan yang diperantarai oleh sel (sel T sitotoksik).

Tidak ada komentar: