Kamis, 19 November 2009

Reaksi Hipersensitivitas

II.1 Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang timbul segera sesudah badan terpajan dengan alergen. Semula diduga bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan terhadap parasit tertentu terutama cacing. Istilah alergi pertama kali diperkenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906, yang diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig E.

Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :

1. Fase Sensitasi

Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil.

2. Fase Aktivasi

Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.

3. Fase Efektor

Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas mastosit dengan aktivasi farmakologik.

IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh mastosit/basofil. IgE yang sudah ada permukaan mastosit akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat juga terjadi secara pasif apabila serum (darah) orang yang alergik dimasukkan ke dalam kulit atau sirkulasi orang normal.

Reaksi yang tejadi dapat berupa wheal and flare yaitu eritem (kemerahan oleh karena dilatasi vaskular) dan edem (pembengkakan yang disebabkan oleh masuknya serum ke dalam jaringan). Puncak reaksi terjadi selama 10-15 menit. Dalam fase aktivasi terjaadi perubahan dalam membrane sel seabagai akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca2+. Dalam fase ini energi dilepaskan akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP akan mengahambat sedang peningkatan cGMP membantu degranulasi. Pelepasan granul itu adalah fisiologik dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Sesudah degranulasi, sel memulai fungsinya lagi.

Penyakit-penyakit yang ditimbulkan segera sesudah tubuh terpajan dengan allergen biasanya adalah asma bronchial, rintis, urtikaria (kaligata), dan dermatitis atopi.

Reaksi antara IgE pada permukaan sel mastosit dan antigen menimbulkan influks Ca2+ yang menimbulkan degranulasi sel dan aktivasi fosfolipase A2. Degranulasi sel mastosit dapat pula terjadi atas pengaruh anakfilaktosin, C3a dan C5a. Disamping histamine, mediator lain seperti prostaglandin (PG) dan leukotrin (SRA-A) yang dihasilkan dari metabolisme asam arakidonat atas pengaruh fosfolipase A2. Oleh karena itu mediator-mediator itu disebut newly generated.

II.2 Reaksi Hipersensitivitas Tipe II

Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :

1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence

2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc

3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

II.2.1 Reaksi Transfusi

Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.

Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.

II.2.2 Reaksi Antigen Rhesus

Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.

II.2.3 Anemia Hemolitik autoimun

Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.

II.2.4 Reaksi Obat

Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.

II.2.5 Sindrom Goodpasture

Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.

Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Perjalanannya sering fatal. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi. Jadi, sindrom ini merupakan penyakit auroimun yang membentuk antibodi terhadap membrane basal. Sindrom ini sering ditemukan setelah mengalami infeksi streptococ.

II.2.6 Myasthenia gravis

Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi neuromuskuler, sebagian disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor astilkoli.

II.2.7 Pempigus

Penyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara keratinosit yang menimbulkan pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.

II.3 Reaksi Hipersensitivitas Tipe III

Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin.

Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.

Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :

1. Infeksi persisten

Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal.

2. Autoimunitas

Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.

3. Ekstrinsik

Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru.

Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.

Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia setempat.

Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :

1. Aktivasi komplemen

a. Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamine

b. Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan enzim polikationik

2. Menimbulkan agregasi trombosit

a. Menimbulkan mikrotrombi

b. Melepas amin vasoaktif

3. Mengaktifkan makrofag

Melepas IL-1 dan produk lainnya

Pada reaksi hipersensitivitas tipe III terdaapt dua bentuk reaksi, yaitu :

1. Reaksi Arthus

Maurice Arthus menemukan bahwa penyuntikan larutan antigen secara intradermal pada kelinci yang telah dibuat hiperimun dengan antibodi konsentrasi tinggi akan menghasilkan reaksi eritema dan edema, yang mencapai puncak setelah 3-8 jam dan kemudian menghilang. Lesi bercirikan adanya peningkatan infiltrasi leukosit-leukosit PMN. Hal ini disebut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun. Reaksi Arthus di dinding bronkus atau alveoli diduga dapat menimbulkan reaksi asma lambat yang terjadi 7-8 jam setelah inhalasi antigen.

Reaksi Arthus ini biasanya memerlukan antibodi dan antigen dalam jumlah besar. Antigen yang disuntikkan akan memebentuk kompleks yang tidak larut dalam sirkulasi atau mengendap pada dinding pembuluh darah. Bila agregat besar, komplemen mulai diaktifkan. C3a dan C5a yang terbentuk meningkatkan permeabilitas pembuluh darah menjadi edema. Komponen lain yang bereperan adalah fakor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai menimbun di tempat reaksi dan menimbulkan stasisi dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil yang diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif.

2. Reaksi serum sickness

Istilah ini berasal dari pirquet dan Schick yang menemukannya sebagai konsekuensi imunisasi pasif pada pengobatan infeksi seperti difteri dan tetanus dengan antiserum asal kuda. Penyuntikan serum asing dalam jumlah besar digunakan untuk bermacam-macam tujuan pengobatan. Hal ini biasanya akan menimbulkan keadaan yang dikenal sebagai penyakit serum kira-kira 8 hari setelah penyuntikan. Pada keadaan ini dapat dijumpai kenaikan suhu, pembengkakan kelenjar-kelenjar limpa, ruam urtika yang tersebar luas, sendi-sendi yang bengkak dan sakit yang dihubungkan dengan konsentrasi komplemen serum rendah, dan mungkin juga ditemui albuminaria sementara.

Pada berbagai infeksi, atas dasar yang belum jelas, dibentuk Ig yang kemudian memberikan reaksi silang dengan beberapa bahan jaringan normal. Hal ini kemudian yang menimbulkan reaksi disertai dengan komplek imun. Contoh dari reaksi ini adalah :

1. Demam reuma

Infeksi streptococ golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi, dan ginjal. Berbagai antigen dalam membran streptococ bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung, tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadap streptococ mengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi.

2. Artritis rheumatoid

Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM) dengan Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.

3. Infeksi lain

Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat.

4. Farmer’s lung

Pada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak spora actinomycete termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi 6-8 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actynomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru-paru.

II.4 Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.

Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis). Antigen ini mungkin berhubungan atau telah diolah oleh sel makrofag dan bereaksi dengan reseptor di permukaan sel limfosit yang pernah berkontak dengan antigen yang sama dan beredar sebagai sel memori. Setelah berkontak dengan antigen, sel itu berubah menjadi blast cell dan mengalami mitosis sambil mengeluarkan zat-zat sebagai berikut:

a. Macrophage inhibition factor (MIF)

Zat ini dapat mengalami migrasi sel makrofag in vitro serta mengubah morfologi dan sifat sel itu menjadi sangat aktif. Zat ayng menyebabkan perubahan ini adalah Macrophage Activation Factor (MAF), sehingga sel makrofag tersebut menjadi lebih efektif untuk mematikan kuman yang telah difagositosis olehnya. Hal yang serupa terjadi pada sel tumor dimana sel makrofag dirangsang oleh zat yang dinamakan Spesific Macrophage Arming Factor (SMAF).

b. Monocyte chemotactic factor

Sel monosit akan bergerak ke arah dimana terdapat konsentrasi tinggi dari zat itu.

c. Skin reactive factor

Meninggikan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan eksudasi sel leukosit.

d. Faktor lain

Terdapat pula faktor yang merangsang mitosis pada sel limfosit netral yang bersifat sitotoksik terhadap beberapa sel.

Untuk tipe IV diperlukan masa sensitasi selama 1 – 2 minggu, yaitu untuk meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus dipresentasikan terlebih dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan menimbulkan rentetan reaksi yang menimbulkan kelainan khas dari CMI.

II.4.1 Gambaran Histologi

Hipersensitivitas Tipe IV tidak dapat dipindahkan ke orang lain dengan menyuntikkan serum yang mengandung antibodi. Yang diperlukan untuk pemindahan pasif adalah sel limfosit.

Suntikan intradermal suatu antigen kepada binatang atau orang yang sudah disensitasi tidak menimbulkan reaksi sebelum 18 – 24 jam. Sekitar 18 – 24 jam, mulai terlihat eritem dan indurasi (paling jelas terlihat 24 – 48 jam). Indurasi ini dapat dibedakan dari edem (yang berisikan cairan) dan tidak menunjukkan pitting pada tekanan. Bila reaksi tersebut berat dapat terjadi nekrosis.

Biopsi menunjukkan adanya infiltrasi sel terutama sel mononuklier – makrofag dengan beberapa limfosit. Kemudian terlihat gambaran yang lebih kompleks, sel B mulai nampak dan terbentuk glanuloma (akumulasi makrofag). Indurasi yang keras disebabkan oleh penimbunan fibrin.

II.4.2 Mekanisme CMI

Mula-mula antigen dipresentasikan oleh APC tertentu kepada sel T4. IL-1 yang dilepas sel APC akan mengaktifkan sel T. Sel T kemudian

II.4.3 Konsekuensi dari CMI

Seperti yang telah diketahui, banyak fungsi CMI dilakukan oleh makrofag yang diaktifkan. Pada keadaan yang paling menguntungkan CMI

II.4.4 Mekanisme-mekanisme Efektor

a. Faktor penghambat migrasi makrofag (Macrophage Migration Inhibition Factor = MIF)

Migrasi aktif makrofaga-makrofaga dari suatu pembuluh kapiler dihambat bila MIF terdapat cairan biakan jaringan. Sangat mungkin pada tingkat ini antigen atau ada atau tidak, tetapi antigen spesifik terhadap MIF juga ditemukan meningkatkan kemungkinan spekulasi yang diijinkan, ini merupakan reseptor sel-T spesifik yang dilepaskan akibat rangsangan antigen dan kemudian dapat bekerja sama pada induksi sel- B. Agaknya situasi yang serupa timbul jika sel-sel- T bereaksi dengan sel tumor pada sel-sel-T yang telah peka dan melepaskan suatu faktor (faktor pada pembentukan makrofaga spesifik = specific macrophage arming factor = SMAF) yang dapat menyokong makrofaga dengan daya seleksi pembunuh tumor, masih belum diketahui. Selain itu, limfokin tertentu, faktor pengaktif makrofaga (macrophage activating factor = MAF) menghasilkan perubahan morfologi yang jelas pada makrofaga-makrofaga dan mengakibatkan metabolisme yang sangat aktif (angry), lebih giat mematikan dan mencernakan bakteri.

b. Faktor Kemotaktik Monosit (Monocyte Chemotactic Factor = MCF)

Monosit-monosit akan bergerak melewati selaput-selaput Millipore ke arah faktor dengan konsentrasi yang lebih tinggi.

c. Faktor penyebab reaksi kulit (Skin Reactive Factor)

Ini akan memulai eksudasi sel-sel jika disuntikkan dan dapat juga meningkatkan permeabilitas kapiler.

d. Lain-lain aktivitas biologic (Other biological activities)

Faktor-faktor juga akan terlihat akan merangsang mitosis pada limfosit-limfosit bebas (berhubungan dengan kerja sama sel-T) dan bersifat sitotoksik, atau sedikitnya menimbulkan hambatan atau biakan sel tertentu. Keadaan sebelumnya menunjukkan adanya penggumpalan trombosit dan adanya interferon (suatu perangsangan produksi interferon oleh makrofaga).

II.4.5 Sel-sel T-Sitotoksik

Suatu cangkokan dari suatu anggota species yang sama dengan genetic berbeda (cangkokan alogenik) dapat menimbulkan satu populasi sel-sel-T pembunuh yang bersifat sitotoksik untuk sel-sel target yang mengandung antigen-antigen donor yang sangat tidak sesuai secara histologik. Tahap pertama dalam interaksi ini yang dapat diikuti invitro adalah persenyawaan antara efektor dengan sel target melalui kemampuan mengenal antigen-antigen cangkokan oleh reseptor-reseptor permukaan, tahap ini lepas dari pengaruh C++ dan peka terhadap sitokalasin B. Dalam beberapa menit, suatu perubahan timbul pada sel target yang mengarah pada sitolisa yang menetap, tahap ini dipengaruhi C++ dan tidak peka terhadap sitokalasin B. Jadi dengan cara menggabungkan mereka tanpa C++ kemudian membiarkan proses sitolisa terjadi dengan menambahkan C++ dan sitokalasin (yang menghambat pergerakan sel dan mencegah ikatan dengan sel-sel target selanjutnya), secara teori setiap sel target hanya dapat menghancurkan satu sel target. Sedemikian besar jumlah sel yang ikut pada spesifisitas histokompabilitas utama memberikan kesan dan secara tidak langsung menyatakan bahwa ada satu hubungan khusus antara sel-T dengan antigen-antigen tertentu. Dalam hubungan ini harus diingat bahwa penyerangan yang efektif hanya terjadi bila sel-sel T telah peka terhadap antigen-antigen histokompabilitas utama atau suatu determinan (penentu) misalnya virus yang dikenal dalam hubungan dengan antigen-antigen ini.

II.4.6 Hubungan dengan Produksi Antibodi

Dulu seringkali sensisitivitas lambat dianggap sebagai suatu tahap penting dalam proses pembentukan antibodi. Sekarang kita ketahui bahwa hal tersebut tidaklah betul-betul demikian. Polisakarida pneumokokus pada tikus merangsang pembentukan antibodi tetapi bukan CMI. Penyuntikan antigen-antigen tertentu dalam bentuk larutan diikuti antigen dalam adjuvan Freund secara efektif akan sedikit lebih lebih menekan kekebalan selular bila dibandingkan dengan penekanan terhadap kekebalan humoralm (penyimpangan kekebalan).

Terakhir, orang-orang yang tidak punya sel-T tetap dapat membentuk antibodi meskipun kadang-kadang kurang efektif. Jelas ada hubungannya, tetapi walaupun demikian, dalam kerjasama antara sel-B dan sel-T, dan jika ada sebagian sel-T lain dapat member reaksi CMI dan penolong-T terangsang oleh antigen yang diberikan maka dengan demikian tidak akan diperlukan lagi produksi antibodi melalui sel-T dalam hubungannya dengan reaksi CMI tadi. Jadi penemuan mengenai hipersensitivitas perantara sel pada penderita-penderita alergi atopik mungkin menggambarkan fakta bahwa antibodi IgE terhadap serbuk sari tumbuh-tumbuhan dan lain-lain alergen hanya akan terbentuk jika jumlah sel-T yang sesuai dan peka mencukupi untuk kerja sama. Peningkatan produksi antibodi terhadap antigen-antigen protein yang tercampur dengan adjuvan Freund lengkap sebagian disebabkan oleh efek antigen yang terkumpul, tetapi juga sebagai akibat dari rangsangan sel-T yang kuat yang akan menaikkan baik kerjasama sel-T dan perkembangan hipersensitivitas tipe lambat.

II.4.7 Jenis-jenis Reaksi Hipersensitivitas tipe IV

Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:

1. Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)

Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka terhadap siklofosfamid.

Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH) merupakan bentuk CMI yang tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah suntikan antigen intradermal yang berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil. Mekanisme sebenarnya masih belum diketahui.

Kelinci yang digigit tungau menunjukkan reaksi CBH yang berat di tempat tungau menempel. Basofil kemudian melepas mediator yang farmakologik aktif dari granulanya yang dapat mematikan dan melepaskan tungau tersebut.

Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan allergen seperti poison ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk konjungtivitis. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa basofil mempunyai peranan dalam penyakit hipersensitivitas.

2. Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontak

Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang peranan pada reaksi ini.

Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru. Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi peka karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil klorida dan kromat.

Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon seperti yang terjadi pada CMI. Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini menimbulkan dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.

3. Reaksi Tuberkulin

Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Dalam beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan kerusakan. Dilain hal terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai konsekuensi CMI.

Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh karena CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel-Tc.

4. Reaksi Granuloma

Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.

Dalam inflamasi kronik ini, monosit dan makrofak mempunyai 3 peranan penting sebagai berikut:

1. Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.

2. Modulasi respon imun dan fungsi sel-T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin.

3. Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin.

Gambaran morfologis dari respon tersebut dapat berupa pembentukan granuloma (agregat fagosit mononuklier yang dikelilingi limfosit dan sel plasma). Fagosit terdiri atas monosit yang baru dikerahkan serta sedikit dari makrofag yang sudah ada dalam jaringan.

Reaksi granulomata merupakan reaksi tipe IV yang paling penting karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap, misalnya pada alveolitis alergik.

Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkolin merupakan respon imun seluler yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi oleh antigen mikroorganisme yang sama, misalnya M. Tuberculosis dan M. Leprae. Granuloma juga terjadi pada hipersensitivitas terhadap zarkonium, sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talkum). Dalam hal-hal tersebut makrofag tidak dapat memusnahkan benda anorganik.

Granuloma non-immunologic dapat dibedakan dari yang immunologic, karena yang pertama tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang diduga berasal dari sel-sel makrofag dan sel datia Langhans (jangan dikaburkan dengan sel Langerhans yang telah dibicarakan).

Granuloma immunologic ditandai dengan inti yang terdiri atas sel epiteloid dan makrofag. Disamping itu dapat ditemukan fibrosis atau timbunan serat kolagen yang terjadi akibat proliferasi fibroblast dan peningkatan sintesis kolagen.

Tidak ada komentar: